JENGGALA GURU

 

pixabay.com


Cerpen Darsono, S.Pd.

(SMPN 4 Satap Karangjambu)

 

Di sebuah desa yang sepi dari lalu lalang kendaraan besar atau bis-bis yang melewatinya, bahkan setiap harinya dapat dihitung mobil yang melewati desa tersebut, yaa,,, itu adalah desa Karangsari yang sunyi, sepi dan menenangkan bagi sebagain orang kota yang setiap harinya harus berjibaku dengan padatnya kendaraan. Desa ini, terletak di kaki Gunung Slamet yang berdiri gagah bak singgahsana yang tak tergantaikan. Di tempat ini, ada sebuah SMP kecil yang berdiri kokoh di antara hamparan sawah dan ladang sayuran nan hijau. Meski tergolong sekolah yang sederhana, sekolah ini menjadi saksi perjalanan panjang seorang guru yang sudah mulai memutih rambutnya, ia bernama Pak Rafa yang telah mengabdi lebih dari tiga puluh tahun di sekolahan tersebut. Sosoknya sangat dihormati dan disegani oleh guru, siswa, dan masyarakat sekitar yang sudah sangat mengenalnya, bukan hanya karena usianya saja, akan tetapi juga karena dedikasi, keteguhan hati dan kebijaksanaannya dalam membimbing peserta didik dari generasi ke generasi.

Salah satu mantan siswanya yang berprestasi dalam akademik ketika SMP ia adalah Elsa, seorang guru muda dengan semangat membara yang kini juga mengajar di sekolah yang sama. Elsa sangat mengagumi Pak Rafa sejak kecil. Baginya ia adalah panutan dalam semua hal. Tidak hanya berwibawa, Pak Rafa adalah guru yang berprestasi, cerdas, selalu sabar dalam mendidik, selalu bekerja dengan cekatan, efektif, dan efisien. Elsa terinspirasi untuk mencontoh keteladanannya.

Pada suatu pagi dengan suasana dingin yang seperti menusuk tulang, Elsa berjalan dengan tergesa-gesa untuk memasuki ruang guru. Hari Guru Nasional tinggal beberapa hari lagi, dan dia baru saja mendengar bahwa sekolah mereka akan mengikuti lomba inovasi pembelajaran tingkat kabupaten. Elsa telah memikirkan konsepnya berhari-hari, tetapi masih merasa belum menemukan solusi yang tepat untuk mengatasi masalah pembelajaran di kelasnya.

Di ruang guru yang Nampak masih sepi dan kosong di beberapa kursi, Pak Rafa sedang duduk tenang, seperti biasanya ia sedang mempersipakan media dan modul untuk pembelajarannya di kelas hari ini. Meskipun usianya yang hampir pensiun beberapa tahun lagi, ia tetap datang tepat waktu dan menjadi yang pertama hadir di sekolah.

“Pak Rafa,,,” sapa Elsa dengan suara lirih dan nada yang tidak jelas karena masih mengatur napas yang masih belum normal, “saya ingin berkonsultasi soal lomba inovasi itu. Saya sudah punya konsep, tapi entah kenapa rasanya masih kurang pas dan susah untuk saya terapkan di kelas saya.”

Pak Rafa menghadap kearah Elsa dengan tersenyum hangat seperti biasanya sambal meminum air putih hangat yang senantiasa ia minum di pagi hari. “Tentu, Nak Elsa. Silakan duduk dan atur napas u terlebih dahulu, ceritakan apa yang membuatmu ragu.”

Elsa pun mulai menjelaskan ide membuat pembelajaran berbasis proyek yang lebih interaktif dan berbasis digital, tetapi ia bingung bagaimana mengukur efektivitasnya dan penerapannya dengan keterbatasan waktu, fasilitas di sekolah mereka, dan lingkungan sekitar sekolah yang belum terbiasa menggunakan teknologi digital. Pak Rafa mendengarkan dengan tatapan tajam dan penuh antusias, sesekali mengangguk sambil berpikir untuk menemukan solusi dari permasalahannya.

“Sebenarnya, idemu sudah bagus lo, Saaa. Tapi kamu harus ingat, bahwa inovasi itu harus disesuaikan dengan karakteristik peserta didik kita dan terpenting bisa diterapkan di lingkungan sekolah kita. Tidak perlu sesuatu yang terlalu muluk-muluk atau hal-hal yang sulit untuk diterapkan, yang terpenting adalah inovasi yang efektif, efisien, dan membuat siswa kita bisa belajar dengan lebih mudah, bisa mereka mengerti dan pahami.”

Mendengar nasihat itu, Elsa tertegun dan pikirannya seperti kosong. Ia merasa tersadarkan, ternyata metode-metode yang selama ini ia pelajari perlu disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan keadaan lingkungan sekitar di sekolahnya. Selama ini, ia hanya terpaku pada konsep-konsep modern yang ia dapat dari dosen ketika kuliah dan buku-buku yang ia baca, tanpa mempertimbangkan penerapan di sekolahnya yang tepat.

“Saya lupa bahwa ini adalah sekolah di kaki gunung dan tempatnya di desa yang terletak di ujung kabupaten dan masyarakat lingkungan sekitar yang masih belum terbiasa dengan teknologi berbasis digital yang selama ini ia dapatkan di bangku kuliah,” gumam Elsa, ia seperti berbicara pada dirinya sendiri.

“Sa,,,,” jawab Pak Rafa dengan lembut, “sesuaikan dengan keadaan sekitar sekolah kita. Kita tidak perlu membawa pembelajaran yang biasa diterapkan di kota ke sekolah kita yang terletak di desa. Justru, kita harus memaksimalkan potensi apa yang ada di sekitar sekolah ini.”

Elsa pun mulai bersemangat dan ia merasa semangat yang tadi malam mulai luntur kini mulai kembali berkobar. Diskusi mereka lanjutkan di siang hari setelah jam pelajaran selesai semua. Ia pun berdiskusi panjang dengan Pak Rafa, menggali ide demi ide, hingga akhirnya menemukan solusi yang sederhana namun dirasa tepat untuk diterapkan: metode pembelajaran yang ia pilih, yaitu metode yang berbasis lingkungan sekitar. Dengan cara ini, peserta didik bisa belajar langsung dari kehidupan sehari-hari, mengamati alam secara langsung, memahami bagaimna petani bekerja di sawahnya, dan memanfaatkan apa yang ada di sekitar mereka untuk pembelajarannya.

Hari pengumuman lomba pun tiba. Dari ratusan peserta yang mengikuti lomba dan mengirimkan karya inovatifnya, Ia lolos 5 besar dan berhak untuk mempresentasikan hasil karya inovatifnya di depan para juri. Ia mempresentasikan idenya dengan penuh percaya diri di depan dewan juri. Ia menjelaskan bagaimana siswa-siswanya belajar menghitung luas tanah perkebunan sayur, mengenali berbagai jenis tanamannya, dan bahkan memahami konservasi air melalui aliran sungai kecil di kaki pegungan yang masih jernih dan terbebas dari polusi air. Para juri tampak kagum dan terkesan dengan pendekatan sederhana ini, namun penuh makna ini.

Setelah menunggu cukup lama, pengumuman pemenang akhirnya dibacakan. Ia merasa sangat gugup, karena ini perlombaan pertamanya. Meskipun ia tidak memenangkan juara pertama dan kedua, ia mendapatkan penghargaan khusus atas inovasi pembelajaran yang relevan dengan lingkungan pedesaan. Elsa tetap merasa bangga dengan pencapaiannya ini, setidaknya sudah mencoba dan berusaha yang terbaik.

Keesokkan harinya, ketika kembali ke sekolah, ia menemukan Pak Rafa sudah menunggu di ruang guru. Wajahnya terlihat senyum dan tenang, seakan tahu bahwa Elsa akan membawa kabar baik.

“Pak, saya berhasil!” seru Elsa dengan penuh kegembiraan walapun didalam hatinya ada sedikit rasa kecewa.

Pak Rafa tersenyum lembut, terlihat mata yang berkaca sambil mengakatan. “Luar biasaa, Elsaaa. Kamu memang hebat, dan membuat saya bangga, walaupun belum juara satu tapi kamu sudah berusaha secara maksimal dan totalitas untuk lomba ini, dan ini bukan akhirnya kamu masih muda masih banyak kesempatan di taun-taun selanjutnya.”

Mereka berdua terdiam sesaat, merenungi arti dari perlombaan ini. Bagi Elsa, perlombaan ini bukan hanya sekadar lomba untuk menang dan mendapatkan penghargaan saja, tetapi bukti bahwa guru sejati adalah mereka yang mampu berinovasi dan mampu membawa perubahan meskipun dalam keterbatasan, mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan megerti dengan karakteristik peserta didiknya. Dengan pembelajaran ini maka pembelajarannya akan lebih bermakna dan kontektual. Pak Rafa mengangguk pelan, bangga melihat muridnya kini telah menjadi guru yang bisa digugu dan ditiru.

“Pak Rafaaaa,” panggil Elsa, “terima kasih banyak. Tanpa bantuan Bapak, saya mungkin tidak akan menemukan solusi itu.”

Pak Rafa menepuk pundaknya dengan lembut dan berkata, “Guru sejati selalu belajar, Na,,. dan guru yang baik adalah yang senantiasa bisa menjadi contoh baik bagi murid-muridnya. Teruslah belajar, karena itulah yang membuat kita terus bertumbuh.”

Hari itu, Elsa menyadari bahwa ilmu yang diperolehnya bukan hanya dari dosen ketika kuliah, buku-buku yang ia baca atau IHT yang ia ikuti saja, tetapi juga dari sosok guru idolanya sejak masih SMP dulu, yaaa, adalah Pak Rafa.

Di sekolah kecil di kaki Gunung Slamet ini, mereka melanjutkan pengabdian dengan semangat, menjaga harapan bagi generasi muda di desanya, dan terus berusaha untuk senantiasa menjadi guru yang digugu dan ditiru untuk rekan guru, masyarakat, dan semua peserta didik di sekolahnya. Dengan guru yang hebat maka Indonesia akan menjadi semakin kuat.

 

Komentar