Cerpen
Darsono, S.Pd.
(SMPN
4 Satap Karangjambu)
Di
sebuah desa yang sepi dari lalu lalang kendaraan besar atau bis-bis yang
melewatinya, bahkan setiap harinya dapat dihitung mobil yang melewati desa
tersebut, yaa,,, itu adalah desa Karangsari yang sunyi, sepi dan menenangkan
bagi sebagain orang kota yang setiap harinya harus berjibaku dengan padatnya
kendaraan. Desa ini, terletak di kaki Gunung Slamet yang berdiri gagah bak
singgahsana yang tak tergantaikan. Di tempat ini, ada sebuah SMP kecil yang berdiri
kokoh di antara hamparan sawah dan ladang sayuran nan hijau. Meski tergolong
sekolah yang sederhana, sekolah ini menjadi saksi perjalanan panjang seorang
guru yang sudah mulai memutih rambutnya, ia bernama Pak Rafa yang telah
mengabdi lebih dari tiga puluh tahun di sekolahan tersebut. Sosoknya sangat dihormati
dan disegani oleh guru, siswa, dan masyarakat sekitar yang sudah sangat
mengenalnya, bukan hanya karena usianya saja, akan tetapi juga karena dedikasi,
keteguhan hati dan kebijaksanaannya dalam membimbing peserta didik dari
generasi ke generasi.
Salah
satu mantan siswanya yang berprestasi dalam akademik ketika SMP ia adalah Elsa,
seorang guru muda dengan semangat membara yang kini juga mengajar di sekolah
yang sama. Elsa sangat mengagumi Pak Rafa sejak kecil. Baginya ia adalah
panutan dalam semua hal. Tidak hanya berwibawa, Pak Rafa adalah guru yang berprestasi,
cerdas, selalu sabar dalam mendidik, selalu bekerja dengan cekatan, efektif,
dan efisien. Elsa terinspirasi untuk mencontoh keteladanannya.
Pada suatu
pagi dengan suasana dingin yang seperti menusuk tulang, Elsa berjalan dengan tergesa-gesa
untuk memasuki ruang guru. Hari Guru Nasional tinggal beberapa hari lagi, dan
dia baru saja mendengar bahwa sekolah mereka akan mengikuti lomba inovasi pembelajaran
tingkat kabupaten. Elsa telah memikirkan konsepnya berhari-hari, tetapi masih
merasa belum menemukan solusi yang tepat untuk mengatasi masalah pembelajaran
di kelasnya.
Di
ruang guru yang Nampak masih sepi dan kosong di beberapa kursi, Pak Rafa sedang
duduk tenang, seperti biasanya ia sedang mempersipakan media dan modul untuk
pembelajarannya di kelas hari ini. Meskipun usianya yang hampir pensiun
beberapa tahun lagi, ia tetap datang tepat waktu dan menjadi yang pertama hadir
di sekolah.
“Pak Rafa,,,”
sapa Elsa dengan suara lirih dan nada yang tidak jelas karena masih mengatur
napas yang masih belum normal, “saya ingin berkonsultasi soal lomba inovasi
itu. Saya sudah punya konsep, tapi entah kenapa rasanya masih kurang pas dan
susah untuk saya terapkan di kelas saya.”
Pak Rafa
menghadap kearah Elsa dengan tersenyum hangat seperti biasanya sambal meminum
air putih hangat yang senantiasa ia minum di pagi hari. “Tentu, Nak Elsa.
Silakan duduk dan atur napas u terlebih dahulu, ceritakan apa yang membuatmu
ragu.”
Elsa
pun mulai menjelaskan ide membuat pembelajaran berbasis proyek yang lebih
interaktif dan berbasis digital, tetapi ia bingung bagaimana mengukur
efektivitasnya dan penerapannya dengan keterbatasan waktu, fasilitas di sekolah
mereka, dan lingkungan sekitar sekolah yang belum terbiasa menggunakan
teknologi digital. Pak Rafa mendengarkan dengan tatapan tajam dan penuh
antusias, sesekali mengangguk sambil berpikir untuk menemukan solusi dari
permasalahannya.
“Sebenarnya,
idemu sudah bagus lo, Saaa. Tapi kamu harus ingat, bahwa inovasi itu harus disesuaikan
dengan karakteristik peserta didik kita dan terpenting bisa diterapkan di
lingkungan sekolah kita. Tidak perlu sesuatu yang terlalu muluk-muluk atau
hal-hal yang sulit untuk diterapkan, yang terpenting adalah inovasi yang efektif,
efisien, dan membuat siswa kita bisa belajar dengan lebih mudah, bisa mereka
mengerti dan pahami.”
Mendengar
nasihat itu, Elsa tertegun dan pikirannya seperti kosong. Ia merasa tersadarkan,
ternyata metode-metode yang selama ini ia pelajari perlu disesuaikan dengan
karakteristik peserta didik dan keadaan lingkungan sekitar di sekolahnya.
Selama ini, ia hanya terpaku pada konsep-konsep modern yang ia dapat dari dosen
ketika kuliah dan buku-buku yang ia baca, tanpa mempertimbangkan penerapan di
sekolahnya yang tepat.
“Saya
lupa bahwa ini adalah sekolah di kaki gunung dan tempatnya di desa yang
terletak di ujung kabupaten dan masyarakat lingkungan sekitar yang masih belum
terbiasa dengan teknologi berbasis digital yang selama ini ia dapatkan di
bangku kuliah,” gumam Elsa, ia seperti berbicara pada dirinya sendiri.
“Sa,,,,”
jawab Pak Rafa dengan lembut, “sesuaikan dengan keadaan sekitar sekolah kita.
Kita tidak perlu membawa pembelajaran yang biasa diterapkan di kota ke sekolah
kita yang terletak di desa. Justru, kita harus memaksimalkan potensi apa yang
ada di sekitar sekolah ini.”
Elsa pun
mulai bersemangat dan ia merasa semangat yang tadi malam mulai luntur kini
mulai kembali berkobar. Diskusi mereka lanjutkan di siang hari setelah jam
pelajaran selesai semua. Ia pun berdiskusi panjang dengan Pak Rafa, menggali
ide demi ide, hingga akhirnya menemukan solusi yang sederhana namun dirasa tepat
untuk diterapkan: metode pembelajaran yang ia pilih, yaitu metode yang berbasis
lingkungan sekitar. Dengan cara ini, peserta didik bisa belajar langsung dari
kehidupan sehari-hari, mengamati alam secara langsung, memahami bagaimna petani
bekerja di sawahnya, dan memanfaatkan apa yang ada di sekitar mereka untuk
pembelajarannya.
Hari pengumuman
lomba pun tiba. Dari ratusan peserta yang mengikuti lomba dan mengirimkan karya
inovatifnya, Ia lolos 5 besar dan berhak untuk mempresentasikan hasil karya
inovatifnya di depan para juri. Ia mempresentasikan idenya dengan penuh percaya
diri di depan dewan juri. Ia menjelaskan bagaimana siswa-siswanya belajar
menghitung luas tanah perkebunan sayur, mengenali berbagai jenis tanamannya,
dan bahkan memahami konservasi air melalui aliran sungai kecil di kaki pegungan
yang masih jernih dan terbebas dari polusi air. Para juri tampak kagum dan
terkesan dengan pendekatan sederhana ini, namun penuh makna ini.
Setelah
menunggu cukup lama, pengumuman pemenang akhirnya dibacakan. Ia merasa sangat gugup,
karena ini perlombaan pertamanya. Meskipun ia tidak memenangkan juara pertama
dan kedua, ia mendapatkan penghargaan khusus atas inovasi pembelajaran yang
relevan dengan lingkungan pedesaan. Elsa tetap merasa bangga dengan
pencapaiannya ini, setidaknya sudah mencoba dan berusaha yang terbaik.
Keesokkan
harinya, ketika kembali ke sekolah, ia menemukan Pak Rafa sudah menunggu di
ruang guru. Wajahnya terlihat senyum dan tenang, seakan tahu bahwa Elsa akan
membawa kabar baik.
“Pak, saya berhasil!” seru
Elsa dengan penuh kegembiraan walapun didalam hatinya ada sedikit rasa kecewa.
Pak Rafa tersenyum lembut,
terlihat mata yang berkaca sambil mengakatan. “Luar biasaa, Elsaaa. Kamu memang
hebat, dan membuat saya bangga, walaupun belum juara satu tapi kamu sudah
berusaha secara maksimal dan totalitas untuk lomba ini, dan ini bukan akhirnya
kamu masih muda masih banyak kesempatan di taun-taun selanjutnya.”
Mereka
berdua terdiam sesaat, merenungi arti dari perlombaan ini. Bagi Elsa, perlombaan
ini bukan hanya sekadar lomba untuk menang dan mendapatkan penghargaan saja,
tetapi bukti bahwa guru sejati adalah mereka yang mampu berinovasi dan mampu membawa
perubahan meskipun dalam keterbatasan, mampu beradaptasi dengan lingkungan
sekitar dan megerti dengan karakteristik peserta didiknya. Dengan pembelajaran
ini maka pembelajarannya akan lebih bermakna dan kontektual. Pak Rafa
mengangguk pelan, bangga melihat muridnya kini telah menjadi guru yang bisa
digugu dan ditiru.
“Pak Rafaaaa,”
panggil Elsa, “terima kasih banyak. Tanpa bantuan Bapak, saya mungkin tidak
akan menemukan solusi itu.”
Pak Rafa
menepuk pundaknya dengan lembut dan berkata, “Guru sejati selalu belajar, Na,,.
dan guru yang baik adalah yang senantiasa bisa menjadi contoh baik bagi
murid-muridnya. Teruslah belajar, karena itulah yang membuat kita terus
bertumbuh.”
Hari
itu, Elsa menyadari bahwa ilmu yang diperolehnya bukan hanya dari dosen ketika
kuliah, buku-buku yang ia baca atau IHT yang ia ikuti saja, tetapi juga dari
sosok guru idolanya sejak masih SMP dulu, yaaa, adalah Pak Rafa.
Di sekolah
kecil di kaki Gunung Slamet ini, mereka melanjutkan pengabdian dengan semangat,
menjaga harapan bagi generasi muda di desanya, dan terus berusaha untuk
senantiasa menjadi guru yang digugu dan ditiru untuk rekan guru, masyarakat,
dan semua peserta didik di sekolahnya. Dengan guru yang hebat maka Indonesia
akan menjadi semakin kuat.
Komentar
Posting Komentar